Perlukah Mainan Anak Laki dan Perempuan Dibedakan?

Perlukah Mainan Anak Laki dan Perempuan Dibedakan?

Ketika sedang berbelanja baju atau mainan untuk anak, mudah untuk membedakan mana lorong display untuk anak perempuan dan laki-laki. Warna merah muda, ungu, renda, dan pita mendominasi salah satu sisi; sementara sisi lorong yang berseberangan penuh dengan warna biru, abu-abu, hitam, hijau, atau mobil-mobilan dan pistol-pistolan.

“Biru untuk laki-laki, merah muda untuk perempuan”, tidak ada orangtua yang tidak akrab dengan prinsip ini. Tapi, apakah norma gender ini benar mencerminkan perbedaan biologis yang melekat antara kedua jenis kelamin, atau mereka hanya dibangun berdasarkan budaya dan pasar iklan?

Asal muasal “biru untuk laki-laki, pink untuk perempuan”

Dilansir dari BBC, penelitian tahun 2007 dari Newcastle University menemukan bahwa warna favorit yang paling banyak menjadi pilihan bagi partisipan pria dan wanita dewasa adalah biru. Tetapi, rata-rata wanita cenderung menilai warna-warna dengan nuansa kemerahan lebih tinggi daripada pria. Peneliti menduga bahwa hal ini berakar dari wanita prasejarah yang bertugas sebagai pengumpul buah beri, sehingga akan lebih mungkin bagi wanita lebih familiar terhadap wana dengan nuansa kemerahan dari buah beri.

Tidak cukup jelas mengapa faktor ini harus mempengaruhi apa yang seseorang suka dan tidak suka. Mungkin hal ini menunjukkan penajaman peningkatan keterampilan membedakan warna-warna merah, namun ada yang kurang dari dugaan ini. Jika wanita berevolusi untuk mencintai warna merah akibat keterikatan dengan warna makanan ratusan ribu tahun lalu, seharusnya hal ini menjadi karakteristik universal, tetapi studi menemukan bahwa orang-orang suku Himba di Namibia tidak memiliki favoritisme terhadap nuansa kemerahan di kalangan wanitanya.

Norma budaya juga dapat membentuk preferensi warna. Dalam masyarakat di mana prinsip “biru untuk laki-laki, merah muda untuk perempuan” melekat di setiap anggotanya, bayi-bayi akan menghabiskan masa tumbuh kembang awalnya memakai atau bahkan dikelilingi oleh dua warna tersebut. Tetapi, studi tahun 2011 menyatakan bahwa bayi, terlepas dari gender mereka, memilih benda-benda yang berwarna pink daripada warna-warna lain, dan yang berbentuk bulat atau bundar. Setelah menginjak dua tahun, anak perempuan akan cenderung lebih terbuka dalam menyukai warna merah muda, dan pada usia empat tahun, anak laki-laki akan mulai menolak warna pink dengan seluruh jiwa raga mereka. Inilah tolak ukur di mana anak-anak mulai menyadari gender mereka, untuk mulai membicarakannya, dan bahkan melihat sekitar untuk mencari tahu apa yang mendefinisikan seorang laki-laki dan apa yang mendefinisikan seorang perempuan.

Anda bisa berargumen bahwa pemilihan warna untuk bayi bukan merupakan masalah besar, namun hal ini dapat mempengaruhi cara kita — sebagai orang dewasa — dalam memperlakukan mereka. Ada satu studi besar yang bisa mendukung gagasan ini: jika seorang bayi (tanpa diketahui gendernya terlebih dahulu) dipakaikan baju berwarna biru, orang-orang di sekitarnya akan mengasumsikan bahwa ia seorang bayi laki-laki, mengajaknya bermain permainan fisik dan mendorong mereka untuk bermain dengan palu plastik. Sementara saat ia dipakaikan dengan baju bernuansa merah muda, orang-orang akan memperlakukannya dengan lemah lembut dan memilihkan boneka untuk teman mereka bermain.

Bagaimana dengan mainan — robot untuk anak laki-laki dan boneka untuk perempuan?

Tidak ada bukti ilmiah yang dapat memastikan bahwa warna biru untuk laki-laki dan pink untuk perempuan. Justru, sampai awal abad 20-an tren warna berbalik: bayi laki-laki akan dipakaikan pakaian bernuansa merah muda dan perempuan dipakaikan warna-warna biru — yang semakin memperjelas bahwa preferensi warna favorit didapatkan dari sosialisasi dan pembelajaran, bukannya ‘setelan’ alami otak manusia.

Bagaimana dengan preferensi mainan?

Dilansir dari The Guardian, Professor Melissa Hines dari Cambridge University berhasil mengidentifikasi kesenjangan gender dalam preferensi mainan. Ada beberapa bukti bahwa otak anak laki-laki didesain untuk mengekspresikan minat awal pada permainan kasar dan fisik serta mainan yang bergerak (seperti mobil-mobilan), sementara perempuan memilih boneka dan bermain peran. Tetapi, studi ini tidak konklusif karena subyek studi merupakan bayi dan balita, sehingga sulit untuk dianalisa.

Walaupun bukan pedoman permanen, anak laki-laki lebih mungkin untuk melihat mainan mobil-mobilan saat di toko mainan dan anak perempuan akan terpaku pada lorong yang penuh boneka warna-warni. Studi terdahulu menemukan bahwa hal ini tidak hanya terkait dengan gender dari anak tersebut namun juga paparan mereka terhadap hormon androgen (hormon “pria”) saat masih dalam kandungan. Penelitian ini bahkan juga menunjukkan bahwa ada kemiripan preferensi berdasarkan gender pada kelompok monyet, yang menyimpulkan bahwa preferensi mainan ditentukan oleh faktor bawaan — entah seberapa besar andilnya.

Preferensi mobil-mobilan atau sikap menghindari boneka atau mainan ‘feminin’ pada anak laki yang muncul di kemudian hari, menunjukkan bahwa sosialisasi atau perkembangan kognitif, turut memegang peran pada perbedaan preferensi mainan ini.

Adakah pengaruh pemilihan warna dan mainan untuk anak pada tumbuh kembangnya?

Pengkotak-kotakan berbasis gender di toko-toko maupun online dimaksudkan untuk membantu pelanggan menemukan apa yang mereka cari dengan mudah, namun ternyata ada hal lain di balik gagasan kemudahan ini: Perbedaan preferensi ini didorong oleh dugaan maha dashyat mengenai apa yang anak mungkin inginkan. Bukannya mendorong eksperimen dan mendukung anak untuk bermain dengan mainan apapun yang mereka pikir menyenangkan, masyarakat menganggap bahwa anak perempuan tidak tertarik dengan permainan yang mempertajam keterampilan spasial (seperti balok susun warna-warni) dan anak laki-laki tidak ingin memainkan permainan yang mendorong ketajaman keterampilan verbal dan kreativitas (sseperti boneka dan bermain peran).

Sains juga telah mengajarkan kita tentang efek merugikan yang dibawa oleh mainan bergender terhadap anak-anak. Dikutip dari Quartz, Elizabeth Sweet, sosiologis sekaligus dosen di University of California, menjelaskan bahwwa ada banyak studi yang menemukan bahwa mainan bergender membentuk preferensi mainan dan gaya bermain anak-anak.

Membatasi anak pada satu “gender” mainan bisa berdampak buruk jangka panjang

Mainan bergender membatasi jangkauan keterampilan dan atribut diri yang bisa dijelajahi oleh anak laki-laki dan perempuan melaui bermain, mainan-mainan ini mungkin mencegah anak-anak untuk mengembangkan minat diri, preferensi, dan bakat hingga batas maksimalnya. Aspek negatif dari stereotip gender ini juga didokumentasikan dengan baik: lebih dari 100 mainan yang bergender, misalnya mobil-mobilan khusus laki-laki dan boneka Barbie untuk perempuan, terbukti kurang mendorong perkembangan kognitif dibandingkan dengan mainan netral.

Jangan sepelekan dampak ini. Stereotip yang kita lihat dari pengelompokkan mainan berhubungan dengan ketidakadilan yang tercermin di kehidupan nyata di luar sana. Tidak hanya mainan bergender dapat memiliki dampak serius pada kompleks keterampilan diri yang akan mendasari masa depan dan aspirasi karirnya — penelitian menunjukkan bahwa anak-anak sudah memiliki ide yang sangat jelas tentang pekerjaan yang cocok untuk anak laki-laki (pilot, pembalap, dokter, presiden, pesepak bola, dst) dan perempuan (ibu rumah tangga, model); ide-ide yang akan sangat sulit untuk diubah di kemudian hari — yang pada akhirnya akan mempengaruhi struktur dari angkatan kerja.

Dengan kata lain, memfokuskan anak-anak perempuan pada permainan khusus perempuan saja dapat berarti Anda secara tidak langsung mengajarkan mereka untuk tumbuh dewasa menjadi wanita yang tunduk, tenang, lemah, tidak kompeten, dan keibuan yang mengedepankan kecantikan dan glamor, memasak di rumah dan mengurus anak adalah dua tujuan utama hidup; sementara anak laki-laki percaya mereka harus menjadi seorang pribadi yang kasar, gaduh, dan hanya tertarik pada aktivitas yang berorientasi aksi demi menghindari label “kewanitaan” atau “lemah”. Hasilnya, penguatan stereotip gender yang menopang gagasan usang terhadap maskulinitas dan feminitas, yang dapat membawa konsekuensi ketidaksetaraan gender yang berbahaya — baik secara sosial, ekonomi, maupun di mata hukum (misalnya, kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh wanita atau pria “tidak mungkin menjadi korban pelecehan seksual” dan tidak bisa mendapat bantuan yang dibutuhkan sebagai dampak dari gagasan ini).

Menetralisir gender dari produk mainan dan permainan akan memungkinkan anak-anak, dan bisa dibilang masyarakat dalam gambaran yang lebih besarnya, untuk menuai manfaatnya dalam jangka panjang: saat kita menawarkan anak-anak kita pilihan yang sama dari sejak dini, secara otomatis mereka akan terus berharap dan menuntut kesetaraan dalam kehidupan personal, sosial, dan profesional mereka.

Jadi, biarkan anak memilih mainan yang ia sukai. Anak-anak tidak boleh dipaksa untuk tunduk terhadap gagasan kuno orangtua yang didasari oleh konstruksi sosial dari peran gender.

sumber : hellosehat.com

Post sebelumnya Post setelahnya

Our Brands